Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana yang diampu oleh Triana Rejekiningsih, S.H, K.N, M.Pd
Disusun Oleh :
Nama : Ukti Binti Arifah
NIM : K6413074
Kelas : B
Semeter : II
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana sebagai Uji Kompetensi Pertama (UK1).
Kegiatan ini penulis lakukan untuk menambah pengetahuan penulis tentang Analisis Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet berdasarkan Asas- Asas Hukum Pidana. Dengan adanya kegiatan ini penulis dapat belajar melalui referensi yang ada, sehingga dapat lebih memperjelas analisis yang sedang penulis pelajari.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat serta dapat menambah pengetahuan kita.
Akhirnya tiada gading yang tak retak, penulis memohon maaf jika terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Bandung, 22 Maret 2019
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. 1
KATA PENGANTAR............................................................................................ 2
DAFTAR ISI........................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Penjelasan Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet ............................. 6
B. Pendapat Pro Kontra mengenai Pasal 293 RUU KUHP..................... 7
C. Analisis Pasal Santet berdasarkan Asas-Asas Hukum Pidana............. 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 15
B. Saran................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang saat ini digodok di DPR diharapkan mampu menjadi jawaban atas segala kekurangan dan ketertinggalan KUHP peninggalan kolonial belanda yang sedang di pakai saat ini. KUHP peninggalan belanda sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat hukum yang terus berkembang atau yang sering dikenal dengan masyarakat modern. Perkembangan masyarakat juga menuntut perkembangan hukum yang mengikuti dan bergerak sesuai dengan masyarakat, sehingga hukum pidana mampu menjadi Social Control. Sehingga apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara dalam mewujudkan masyarakat yang aman, tertib, maju dan berbudaya dapat diwujudkan.
Sebagai Lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat harus berhati-hati dalam merevisi Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang diajukan oleh pemerintah. Revisi KUHP itu dikritisi banyak kalangan karena dinilai mengandung “pasal-pasal karet” yang kontroversial dan ancaman bagi masyarakat. Pemerintah telah menyerahkan RUU KUHP kepada DPR per 11 Desember 2012. Berkas revisi KUHP dengan surat R-88/pres/12/2012 itu memuat 766 pasal. Dibanding KUHP lama produk kolonialis Belanda ( wet boek van strafrecht ), revisi KUHP menambah 197 pasal.
Namun rancangan KUHP baru ini dikritisi sejumlah kalangan karena dinilai dapat mengancam kebebasan. Beberapa pasal yang mendapat sorotan public, salah satu hal yang sangat kontroversi dalam RUU KUHP adalah dimuatnya pasal santet (Pasal 293) dan Pasal Karena Belakangan ini semakin marak iklan-iklan dalam majalah, koran, dan tabloid (media massa) mengenai jasa jasa pengobatan alternatif untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, yang salah satunya akibat terkena teluh/santet/guna-guna. Bahkan yang lebih ekstrim lagi yaitu menawarkan jasa untuk menyantet orang, membuat orang lain menderita, sakit bahkan sampai meninggal dunia.Padahal Pasal tersebut banyak menimbul Pro dan Kontra. Untuk itu penulis akan berusaha menganalis RUU KHUP tersebut berdasarkan Asas- Asas Hukum Pidana, sehingga dapat terlihat kesesuaian RUU tersebut dengan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan bunyi pasal 293 RUU KUHP tentang santet?
2. Bagaimana pendapat Pro dan Kontra tentang RUU KUHP ini?
3. Bagaimana Analisis Pasal 293 berdasarkan Asas – Asas Hukum Pidana?
C. Tujuan Penulisan
1. Penulis dapat menjelaskan bunyi pasal 293 RUU KUHP tentang Santet
2. Penulis memaparkan berbagai pendapat Pro Kontra tentang pasal 293 RUU KUHP tentang Santet
3. Penulis dapat menganalisis Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet berdasarkan Asas – Asas hukum Pidana
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penjelasan Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tengah didebatkan Dewan Perwakilan Rakyat ternyata mengandung unsur santet. Dalam rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah tersebut, pasal 293 mengatur penggunaan ilmu hitam ini.
Berikut ini bunyi pasal tersebut:
1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Penjelasan :
Ketentuan ini dimaksud untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic) yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai Dukun teluh (santet)
B. Pendapat Pro dan Kontra mengenai Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet
1. Pendapat Pro terhadap Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet
RUU KUHP tentang Santet bertujuan untuk menjadi payung hukum yang melindungi masyarakat yang mengklaim dirinya menjadi korban penipuan orang-orang yang mengaku dukun, paranormal atau sejenisnya. Disamping itu juga untuk menghukum pelaku santet, dan membuat pelakunya jera. RUU ini djuga diharapkan dapat membantu masyarakat yang menjadi korban penipuan dukun santet, selain itu bisa membantu orang-orang yang diberitakan atau difitnah sebagai dukun santet dan akhirnya dikeroyok bahkan dibunuh warga.
Permasalahan santet perlu diatur dalam Undang-Undang, meskipun santet memang sulit dibuktikan. Namun tetap perlu ada aturan yang mengatur hal-hal yang dipercaya masyarakat sebagai hal gaib. Santet akan mengalami kesulitan pembuktian, ruang lingkupnya tetapi sah – sah saja jika dimasukkan sebagai tindak pidana.
Polisi juga menyetuji adanya RUU tersebut meskipun ketika dirumuskan dalam KUHP bebannya ada di polisi, karena istilah santet itu sudah ada sejak dahulu. Banyak kasus yang mengemuka di beberapa daerah, misalnya isu santet yang dianiaya sampai mati, ini harus dikaji. Ketika tidak diakomodasi dalam UU, suatu saat ada pelaku santet dibawa ke polisi, maka polisi tidak bisa berbuat apa-apa jika Undang – Undang atau KHUP yang mengaturnya.
Pasal santet harus menjadi bagian hukum di Indonesia, karena telah banyak sekali jatuh korban yang membuat orang menderita, dan pelakunya terhindar dari jeratan hukum. Pembuktian pasal santet bisa dilakukan oleh para ahli karena banyak orang yang mempunyai kemampuan seperti itu, sehingga juga banyaknya orang mampu menyantet. Selain itu sebuah pembuktian santet dapat dibacakan surat Yunus ayat 80-81, maka orang yang terkena santet akan terucap dari mulutnya siapa yang berada didalam tubuhnya, siapa pelakunya dan siapa yang menyuruh.
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir, meluruskan kontruksi hukum pasal 293 Ruu KUHP, “Tak ada istilah pasal santet dalam pasal 293 itu. Menurutnya, pasal itu dikenakan bagi mereka yang menawarkan jasa ilmu gaib untuk membunuh orang lain. Soal apakah orang itu meninggal karena santet, itu tak masuk pembuktian hukum”.[1]
Sedangkan menurut Anggota Komisi III DPR RI, Achmad Dimyati Natakusumah, Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg), bahwa persepsi terhadap pasal 293 RUU KUHP sebagai pasal santet adalah tidak benar. Karena sama sekali istilah santet tidak ada dalam RUU tersebut, yang ada hanyalah tindak pidana penipuan khusus. Jadi jelas dalam RUU KUHP ini sebagai delik aduan, dan bukan untuk membuktikan adanya santet. Tapi lebih kepada tindakan seseorang yang merugikan orang lain.[2]
2. Pendapat Kontra terhadap Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet
RUU KHUP tentang santet jika dimasukan kedalam KUHP Pidana maka akan sangat sulit mencari alat buktinya. Secara materiil bila ada orang yang menyantet siapa yang bisa membuktikan, masak akan memakai santet untuk membuktikan praktik santet, kecuali kalau memakai teknik hipnotis mungkin pelaku santet bisa dihipnotis kemudian diinterogasi untuk mencari kebenaran. Tetapi hal tersebut sangat sulit dilakukan.
Ilmu santet berhubungan dengan hal gaib, sehingga sulit untuk dibuktikan siapa pelakunya dan akan mengalami kesulitan untuk mencari pembuktiannya. Karena untuk mengesahkan Pasal Santet diperlukan dewan pakar santet atau orang yang paham soal santet. Setelah itu polisi dan jaksa serta hakim akan kesulitan menerapkan hukumnya, karena sulit lakukan pembuktian di lapangan.
Sedangkan hukum di Indonesia itu untuk menentukan tersangka harus ada yang namannya korban, barang bukti, dan saksi. Karena pengadilan membutuhkan sesuatu yang kongkrit, maka akan sangat sulit ketika persoalan santet tersebut harus dibawa ke ranah peradilan. Jika RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang, maka akan timbul kerancuan di masyarakat bahkan bisa disalahgunakan pihak-pihak lain untuk memfitnah orang yang tidak disukainya.
Untuk itu pembuktian Santet tidak rasional, sehingga Jika pasal tersebut dipaksakan (disyahkan), dikhawatirkan akan menambah permasalahan di dunia hukum. Barang – barang bukti yang selama ini identik dengan santet biasanya berupa silet, paku, dan jarum dapat dibeli di mana saja. Dikhawatirkan hal tersebut bisa digunakan oleh orang-orang jahat dengan menyebarkan fitnah bahwa orang yang tidak disukainya adalah seorang pengguna santet.
Santet itu syirik sehingga dapat melanggar norma agama tertentu. Dalam hal ini para wakil rakyat semakin menjerumuskan rakyat ke lembah dosa. Dalam kaca mata Islam, meyakini ilmu hitam adalah musyrik dan dosa besar, bahwasannya sesuatu yang tidak tampak hanya Allah yang mengetahuinya. Jadi manusia jangan mencoba mengurusinya. Menurut Prof. M Abdurrahman, MA menilai jika pemerintah mengajukan pasal ini, maka cara berpikir pemerintahan kembali ke zaman dulu. Pemerintah menurutnya seolah ingin memaksakan kepada masyarakat agar percaya santet, padahal santet itu tidak ada dan ini sangat sesat.[3]
C. Analisis Pasal 293 RUU KUHP Tentang Santet Berdasarkan Asas- Asas Hukum Pidana
Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet banyak menimbulkan Pro Kontra, namun RUU tersebut akan disahkan bila memenuhi asas – asas Hukum Pidana. Asas – Asas Hukum Pidana itu terdiri dari asas yang dirumuskan dalam KUHP atau Perundang – Undangan lain dan juga asas yang tidak dirumuskan & menjadi asas Hukum Pidana yang tidak terulis dianut dalam Yurisprudensi. Untuk itu Pasal 293 RUU KHUP tentang santet akan di analisis berdasarkan asas – asas Hukum Pidana :
Asas Legalitas
Asas Legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana dalam perundang – undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Berkaitan dengan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP, misalnya pembunuhan yang direncanakan, penaniayaan yang dapat menimbulkan kematian dan pembunuhan biasa. Kegiatan tersebut merupakan tindak pidana yang berdekatan menimbulkan kematian dengan kata lain terdapat unsur kesamaan, walaupun ada unsur lain yang membedakan, sehingga santet memenuhi rumusan delik yang sama atau berdekatan erat.
Menurut asas legalitas syarat utama untuk menidak terhadap suatu perbuatan yang tercela yaitu adanya ketentuan dalam Undang – Undang Pidana yang dirumuskan perbuatan tercela dan memberikan sanksi terhadapnya. Sehingga santet selain memenuhi rumusan delik juga mengandung unsur menghilangkan nyawa, merusak kesehatan dan lain – lain dengan cara gaib yang sulit pembuktiannya secara hukum. Jadi perlu adanya kajian yang lebih dalam meninjau masalah santet dalam perspektif hukum.
Santet adalah sebuah tindakan yang dipandang berlawanan dengan hukum dan patut dikriminalisasikan. Kalau menurut KUHP yang sekarang berlaku perbuatan meramal nasib/mimpi dan memakai jimat saja diancam piada, maka seharusnya santet lebih pantas untuk dijadikan tindak pidana. Namun santet merupakan gejala sosial budaya yang sangat kompleks karena terkait dengan masyarakat, baik primitif maupun modern. Kompleksitas makin tinggi bila santet dikaitkan dengan upaya pengaturan dalam undang-undang karena harus mendudukkan secara jelas dua hal yaitu budaya dan tindak kejahatan (culture and criminal offense). Kejahatan terkait santet harus dipahami dalam tiga kategori perbuatan :
Pertama, perbuatan santet, terhadap orang lain yang menyebabkan luka, derita, nasib buruk, sakit, bahkan kematian.
Kedua, tuduhan terhadap seseorang sebagai dukun santet disebut sebagai pelaku santet, acapkali memicu kemarahan massa yang berujung anarki.
Ketiga. tindakan main hakim sendiri oleh kerumunan orang terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun santet yang sering berakibat kematian.
Di sinilah letak komplikasi masalah santet sebagai tindak kejahatan berkonsekuensi hukum. Karena itu, apabila kejahatan santet hendak diatur di dalam KUHP, harus didefinisikan lebih dulu jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dan dipilah perbuatan mana yang dapat disebut tindak kejahatan.
Santet dianggap sebagai penjelmaan sehingga tidak ada fakta keras yang dapat menjadi bukti konkret untuk mendukung sangkaan atas suatu tindak kejahatan santet. Untuk menguatkan tuduhan bahwa seseorang telah menyantet orang lain pun biasanya hanya merujuk pada sikap iri, dengki, cemburu, marah, dendam, atau permusuhan satu orang dengan orang lain. Ketiadaan bukti fisik membuat hukum positif tidak bisa menjangkau tindak kejahatan santet atau menerima sebagai suatu realitas sosial.
Asas legalitas juga dilengkapi dengan pengakuan bahwa di Indonesia juga mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis atau hukum adat, artinya suatu perbuatan menurut hukum yang hidup atau hukum adat dianggap sebagai tindak pidana walaupun tidak tercantun dalam Undang – Undang Pidana, tetapu dapat dianggap sebagai tindak pidana.
Santet merupakan kekuatan roh jahat (ilmu gaib) yang dengan sengaja di miliki oleh seseorang untuk membuat orang lain menderita, teraniaya dan bahkan meninggal dunia. Santet merupakan suatu bukti bahwa masyarakat Indonesia masih di pengaruhi oleh hal-hal gaib dan bertentangan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, jadi santet merupakan bagian dari kegiatan sosial kemasyarakatan yang bertentangan dengan hukum masyarakat itu sendiri yakni Hukum adat dan juga bertentangan dengan hukum agama. Jadi santet lebih tetapnya diatur sebagai bagian dari hukum Adat dan hukum agama, jadi sanksinyapun diatur oleh hukum adat masing-masing daerah serta hukum agamanya masing-masing. Karena setiap daerah itu memiliki cara masing – masing untuk pembuktiaan santet tersebut.
Asas Larangan Penggunaan Analogi
Pada dasarnya metode analogi dalam penerapan ketentuan hukuk pidana dilarang, karena analogi dapat memperluas pengertian sehingga membahayakan kepastian hukum dam menimbulkan kesewenang – wenangan penguasa. Dalam RUU KUHP pasal 293 disebutkan setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberi bantuan jasa kepada orang lain karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang.
Apabila dengan disahkanya RUU KUHP pasal 293 apakah ada orang yang ingin melakukan santet akan menyatakan dirinya sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut, tentu saja tidak karena para pelaku tersebut sadar bahwa apabila mereka menyatakan memiliki kemampuan gaib maka akan menjadi tersangka dan dapat dipidana dan diproses hukum. Dalam perumusan pasal 293 RUU KUHP ini lebih kepada seseorang yang memiliki kemampuan gaib untuk melakukan kejahatan tapi bagaimana seseorang yang memiliki kemampuan gaib untuk melawan kejahatan gaib tersebut.
Dengan munculnya permasalahan tersebut maka akan kesulitan dalam penegakan hukum karena masih banyaknya presepsi serta belum jelas pendefinisian tindak pidana santet ini. Apakah juga masyarakat yang meminta tolong terhadap seseorang yang memiliki kemampuan gaib untuk menyembuhkan seseorang yang menjadi korban kejahatan gaib harus juga diproses hukum, apabila ini dilakukan maka pihak berwenang juga akan melakukan tindakan yang kontraproduktif sedangkan saat ini banyak pihak berwenang (aparat kepolisian) di Indonesia sadar dan mengakui bahwa seseorang yang memiliki kekuatan gaib bisa melawan kuasa gelap dan mengusir roh jahat sehingga aparat pun akan ragu dan tidak mungkin melaksanakan penegakan hukum terhadap orang yang memiliki kemampuan gaib tersebut.
Selain itu proses pembuktian dan penyidikan dalam tindak pidana santet akan mulai timbul keraguan dalam proses pembuktian karena masalah yang dihadapi tidak dapat dibuktikan secara empiris dan logika manusia. Apabila keraguan ini sudah muncul maka akan timbul keenganan dari penyidik untuk menerima dan melanjutkan proses penyidikan santet tersebut.
Dilain pihak sebagian masyarakat bisa memaklumi kesulitan pembuktian tindak kejahatan santet dalam penegakan hukum. Bagi pihak lain, terlebih lagi korban santet, ketidakberdayaan aparat penegak hukum mengadili tindak kejahatan santet. Sehingga untuk menuntut bentuk peradilan tersebut muncul aksi brutal, seperti membakar orang yang dituduh dukun santet. Hal ini juga menjadi permasalahan apabila pihak berwenang tidak melakukan penegakan hukum akan muncul aksi main hakim sendiri oleh masyarakat. Oleh karena itu, tindak pidana santet berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum karena ketidakmampuan hukum pidana dan badan pelaksananya untuk menegakkan hukum tentang sihir dan santet. Sehingga pasal santet sangat tidak tepat untuk dimasukkan dalam RUU KUHP karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Asas Tiada Pidana tanpa Kesalahan
Santet adalah suatu fenomena yang penuh misteri dalam dua konteks.
· Pertama, santet melibatkan kekuatan gaib yang tidak bisa dideteksi indera manusia sehingga sangat sulit untuk melakukan obyektivikasi. Obyektivikasi adalah suatu proses mematerialkan atau membuktikan suatu gejala sosial agar dapat diamati, diidentifikasi, dan dieksaminasi oleh banyak bukan hanya satu orang untuk diterima sebagai peristiwa faktual atau kenyataan obyektif.
· Kedua, perbuatan santet selalu tersembunyi dan dilakukan di suatu wilayah di luar jangkauan pengamatan langsung orang lain sehingga tidak ada yang dapat mengklaim tuduhan santet berdasarkan observasi dan bukti empiris.
Dukun santet bekerja memanfaatkan kekuatan gaib. Dalam konteks ini, pembuktian empiris seolah tidak berdaya ketika ada tuntutan untuk memprosekusi tindak kejahatan santet. Bagi aparat penegak hukum yang mencoba melakukan penyidikan dan membuktikan tindak pidana santet akan mengalami kesulitan dikarenakan kedua hal tersebut diatas yaitu kesulitan dalam mendeteksi melalui panca indera manusia dan kedua santet dilakukan dimana saja dan tidak bisa kita ketahui.
Apabila terjadi tindak pidana Santet dan menimbulkan korban maka timbul pertanyaan bagaimana dan mulai dari mana dari pihak penyidik kepolisian akan mulai menyidik. Kepolisian pasti akan berusaha mencari pembuktian yang dapat dikaitkan dengan tindak pidana Santet, namun akan menimbulkan pertanyaan
Apakah korban mengetahui pelakunya yang melakukan tindak pidana Santet tersebut?
Adakah saksi yang mengetahui tentang tindak pidana Santet tersebut?
Apakah penyidik memiliki kemampuan untuk melakukan penyidikan dan pembuktian terhadap tindak pidana santet?
Bagaimana proses pembuktikan tindak pidana santet tersebut hingga ke pengadilan ?
Apabila seseorang yang menyatakan memiliki kemampuan gaib dan dengan kemampuanya dianggap oleh masyarakat dapat menyembuhkan masyarakat yang menjadi korban santet apakah juga dapat dipidana ?
Menurut pasal 6 ayat (2) UU No.4 Tahun2004 tentang kekuasaan kehakiman. Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang – Undang , mendapatkan keyakinan bahwa seseorag yang ditangkap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Untuk santet ini sangat sulit untuk pembuktiannya secara hukum oleh karena itu tidak bisa dipidanakan karena tidak adanya bukti secara konkret atau nyata dan tidak mungkin seseorang secara langsung mengaku bahwa dirinya itu yang menyantet. Sehingga tanpa bukti dan sanksi, pengadilan tidak akan menjatuhkan hukuman pidana.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasal 293 RUU KUHP tentang Santet, RUU ini sebenarnya bertujuannya untuk mencegah adanya main hakim sendiri kepada seseorang yang dianggap dukun atau paranormal. Dan RUU ini juga untuk melindungi orang yang terkena santet yang dapat mengganggu jiwa dan kesehatannya bahkan sampai nyawanya, untuk itu RUU santet ini mengatur sanksi bagi pelaku santet sehingga dapat membuatnya jera. Namun untuk mengadili suatu tindak pidana di pengadilan memerlukan sanksi dan bukti, padahal santet itu sangat sulit pembuktiannya secara hukum sebab santet itu ilmu gaib atau ilmu hitam.
Pasal santet dalam RUU KUHP tersebut sangat kontroversional karena banyaknya pendapat Pro dan Kontra dari berbagai pihak. Bagi pihak Pro santet itu diperlukan karena sekarang santet marak dimana – man kalau tidak ada hukum yang mengaturnya maka dikhawatirkan santet tersebut akan semakin merajalela. Sedangkan Pihak Kontra menganggap bahwa santet itu memang membahayakan orang lain namun pembuktiannya sangat sulit dan santet itu menggunakan ilmu hitam sehingga termasuk syirik dan melanggar norma agama. Namun sebelum RUU tersebut disyahkan maka harus dianalisis berdasarkan hukum pidana khususnya berdasarkan asas – asas hukum pidana. Sehingga dapat ditelaah apakah RUU tentang santet tersebut sesuai hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan asas Legalitas santet itu memang memenuhi rumusan delik dan mengandung unsur menghilangkan nyawa, merusak kesehatan dan lain – lain dengan cara gaib, sehingga sangat sulit pembuktiannya secara hukum. Disamping itu, Asas legalitas juga dilengkapi dengan pengakuan bahwa di Indonesia juga mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis atau hukum adat. Dengan begitu santet juga melanggar hukum adat dan hukum agama karena santet itu mengganakan ilmu hitam. Sehingga santet lebih tepatnya diatur dalam Hukum adat dan Hukum agama saja sebab sanksinya akan lebih jelas, biasanya tiap daerah mempunyai cara tersendiri dalam pembuktian santet tersebut.
Kebijakan hukum mengenai santet juga mengalami ketidakpastian hukm karena santet menggunakan ilmu gaib yang dilakukan oleh dukun atau paranormal dikhawatirkan aparat penegak hukm tidak bisa membedakan mana dukun yang mencelakan orang lain dan dukun yang baik yang membantu menyembuhkan orang lain. Karena hal tersebut tidak bisa dipikirkan oleh orang biasa, pembuktinnya pun tidak konkrit dan tidak menggunkan logika. Sehingga hal tersebut menimbulkan analogi hukum pidana. Masak pelaku santet dibuktiksn orang yang pinter santet, dikhawatirkan antara pembukti santet dan pelaku santet dapat beradu ilmu hitam, padahal aparat tidak tahu tentang ilmu gaib tersebut.
Sedangkan menurut Asas Tiada Pidana tanpa Kesalahan, Santet yang membahayakan nyawa seseorang itu disebut kesalahan namun untuk membuktikan kesalahan tersebut sangat sulit dibuktikan. Oleh karena itu, santet tidak bisa dipidanakan karena tidak adanya bukti secara konkret atau nyata dan tidak mungkin seseorang secara langsung mengaku bahwa dirinya itu yang menyantet. Sehingga tanpa bukti dan sanksi, pengadilan tidak akan menjatuhkan hukuman pidana.
B. Saran
Untuk semua pihak yang mendebatkan RUU KUHP tentang santet ini sebaiknya dihentikan saja, lebih baik membahas RUU yang dianggap lebih sesuai dengan Hukum Pidana di Indonesia. Karena Santet itu sangat sulit pembuktiannya secara hukum. Dan lebih tepatnya santet itu diatur dalam hukum adat dan hukum agama yang masing – masing daerah mempunyai cara untuk pembuktiannya.
DAFTAR PUSTAKA
R.Soesilo. 1995.Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor:Politeia
Prof.Moeljatno,S.H.2008.Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta:Rineka Karya
Youtobe, Mata Najwa, Menjerat santet, 5 Desember 2012. Diakses tanggal 22 Desember 2014
Koran kompas, RUU KUHP berpotensi timbulkan kekacauan hukum. Diakses tanggal 21 Maret 2014
RANGKUMAN DEBAT KONTROFERSI RUU SANTET TV One. Diakses tanggal 21 Maret 2014
EmoticonEmoticon